Cerpen ini kutulis untuk memenuhi tugas akhir mata pelajaran Bahasa Indonesia .
Selamat membaca :)
Aku pantas, bahagia
Oleh: Salsabila Imtaza
“ Sahlaan, cepat kemari nak.....” suara itu berasal dari dapur reyot dibelakang rumahku.
“ Iya, mak...tunggu sebentar.” Aku bergegas mengambil tas, serta sepatu usangdi bawah tempat tidur.
“ Ini gethuknya, ada 30 bungkus. Lekas berangkat, emak tak ingin kau terlambat sampai di sekolah” ucapnya
“ iya mak, Sahlan pamit ya....Assalamualaikum” Aku membawa kantong plastik berisi gethuk tadi, di tangan kiri dan mencium tangan emakku.
Namaku, Sahlan. Tak ada yang istimewa denganku, si penjual gethuk dipasar berseragam merah putih kusut pemberian tetangga. Anak laki-laki yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang bapak., yah beginilah aku, rutinitasku, dan kehidupanku. Tapi, semua yang terjadi bukan jadi alasan aku putus sekolah.
Di pasar.....
“ Gethuk! Gethuk!....” teriakku menawarkan gethuk yang kujual.
30 menit berlalu, masih ada sisa 8 bungkus. Tapi, sudah jam 6.30 nih, tandanya 20 menit lagi sekolahku masuk.
“Jualannya sambil jalan aja ah. Siapa tau ada yang mau beli..” batinku.
Ternyata benar, belum sampai aku di sekolah. Gethukku laris manis terjual habis. Alhamdulillah. Akhirnya, emak tak harus membuangnya karena tak habis dan basi.
“ Sini uangnya, enak banget uangmu banyak” suara yang tak asing di telingaku. Hmm tak lain lagi. Pasti si Jali, biang kerok sekolahan.
“ Ini bukan milikku...., sudahlah jangan mengganggu” rebutku, lantas bergegaslari menjauhinya
Dari kejauhan.....
“ Jali!!! Apalagi yang kamu lakukan?” suara Ibu guru.
Hahhaha kasian kamu Jali, uang tidak berhasil kamu rebut, malah omelan yang kau dapat. Untunglah, tadi dekat dengan sekolah, kalau tidak aku rugi banyak hari ini. Tak lama, bel berbunyi.
“ Kriing, kriiiiing !!!!” Ibu guru masuk ke kelas.
“ Assalamualaikum, ayo berdo’a....” kami menjawab salam, lantas segera membaca do’a.
“ Kali ini, ibu ingin kalian menulis kata-kata indah, yang membuat kalian semangat” perintah Ibu guru.
“ Asyiiik, siap bu.” Semangatku membara, menulis adalah hobiku. Meski kalimatnya masih berantakan, tak ada salahnya terus mencoba.
“ Sambil kalian menulis, ibu akan memberikan nasehat juga ya” tambah Ibu guru
“ Siap, bu” celetuk Ali, sahabatku. “eh,Sah! Buatin aku ya, aku malas tau! Aku mau dengerin Bu guru aja, aku nggak mau nulis kata-kata kayak gitu.”
“ Ih kamu ah! Malas mulu, kapan suksesnya?” jawabku bercanda
“ kamu aja dulu, aku ngikut. Hehehehe ...” jawabnya dengan wajah yang paling ceria sedunia
“ Nak...., kalian sudah kelas 6. Sudah waktunya kalian membantu orang tua.jangan mengandalkan orangtua terus- menerus ya...” Ibu guru memulai nasehatnya
“ Maksudnya gimana sih bu?” tanya Rosi di seberang bangkuku.
“ Lihatlah, Sahlan. Tiap pagi ia menjual gethuk buatan ibunya. Itu yang ibu maksud membantu. Membantu meringankan beban orangtua ”jawab Ibu guru. Aku terkejut mendengarnya, kok aku yang dibuat contoh sih, batinku.
“ Lho, kan dia memang nggak mampu! Nggak punya bapak lagi, pantas dong dia jualan gethuk. Hahahahahhaha” suara Jali. Tawa teman sekelas menambahi, kecuali Ali dan Rosi.
“ Jali kok gitu? Harusnya kamu itu belajar dari Sahlan dong, nak...”
“ Dia kan bukan buku bu! Ahahahahha” Jali tak terima
“ Sudah minta maaf...” perintah Ibu guru.
“ Sudah, nggakpapa kok bu. Memang Jali benar...” tambahku, dengan senyuman.
Ejekan seperti itu sudah biasa bagiku, toh yang dikatakan Jali juga tak penting. Aku pun melanjutkan menulis. Ibu guru juga diam, tak berani memulai percakapan lagi dengan kami. Takut aku semakin sedih dengan keadaan yang menimpaku. 15 menit setelah itu....
“ Ayo, maju satu persatu nak..., bacakan kata-kata motivasi yang sudah kalian tulis.”
“ Ini Li, buatmu” padahal aku tak membuatkannya, hanya kertas kosong yang kuberikan.
“ Aku dulu ya, Bu!” kata Jali . Ia maju, dan membacakan kata-kata yang telah ditulisnya. Ali maju setelah itu.
“ Putihkan hatimu, seperti kertas ini” sontak kami sekelas tertawa, ada saja idenya.
Giliran Rosi, murid perempuan paling ramah membacakan miliknya.
“ Tetap bermimpi, hingga mimpi yang paling tinggi” katanya. Lalu ia kembali duduk. Kami sekelas bertepuk tangan, kagum akan kata-kata Rosi.
Sekarang giliranku,
“ Aku bukan anak istimewa, hidupku sederhana. Aku tak punya bapak seperti kalian, tapi aku tau. Apapun yang terjadi, tetaplah tersenyum. Tunjukkan pada dunia, kamu bisa” kataku.
Hening, tak ada tepuk tangan. Semua teman- teman menunduk, Ibu guru mengusap airmatanya. Adakah yang salah denganku? Beberapa detik kemudian.....
“ Apa alasan kamu tersenyum?” tanya Rosi
“ Karna aku pantas, bahagia....” jawabku
Teman-teman sekelasku maju, menyusulku di depan kelas. Bergantian memelukku, dan meminta maaf atas perlakuan mereka selama ini. Dan hari ini, aku tau makna bahagia, buah dari kesabaran, dan nikmatnya rendah diri. Persahabatan kami pun semakin erat, dan tak terpisahkan. Meski aku tak punya bapak, aku masih punya ibu, guru, dan sahabat yang paling hebat. Meski aku hidup sederhana, tapi aku sangat bahagia.
-SELESAI-
Untuk kalian, teman hidup, teman tidur, teman segala-galanya .Terimakasih-
Kalian bukan lagi teman ,tapi sahabat dan saudara
Selamat membaca :)
Aku pantas, bahagia
Oleh: Salsabila Imtaza
“ Sahlaan, cepat kemari nak.....” suara itu berasal dari dapur reyot dibelakang rumahku.
“ Iya, mak...tunggu sebentar.” Aku bergegas mengambil tas, serta sepatu usangdi bawah tempat tidur.
“ Ini gethuknya, ada 30 bungkus. Lekas berangkat, emak tak ingin kau terlambat sampai di sekolah” ucapnya
“ iya mak, Sahlan pamit ya....Assalamualaikum” Aku membawa kantong plastik berisi gethuk tadi, di tangan kiri dan mencium tangan emakku.
Namaku, Sahlan. Tak ada yang istimewa denganku, si penjual gethuk dipasar berseragam merah putih kusut pemberian tetangga. Anak laki-laki yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang bapak., yah beginilah aku, rutinitasku, dan kehidupanku. Tapi, semua yang terjadi bukan jadi alasan aku putus sekolah.
Di pasar.....
“ Gethuk! Gethuk!....” teriakku menawarkan gethuk yang kujual.
30 menit berlalu, masih ada sisa 8 bungkus. Tapi, sudah jam 6.30 nih, tandanya 20 menit lagi sekolahku masuk.
“Jualannya sambil jalan aja ah. Siapa tau ada yang mau beli..” batinku.
Ternyata benar, belum sampai aku di sekolah. Gethukku laris manis terjual habis. Alhamdulillah. Akhirnya, emak tak harus membuangnya karena tak habis dan basi.
“ Sini uangnya, enak banget uangmu banyak” suara yang tak asing di telingaku. Hmm tak lain lagi. Pasti si Jali, biang kerok sekolahan.
“ Ini bukan milikku...., sudahlah jangan mengganggu” rebutku, lantas bergegaslari menjauhinya
Dari kejauhan.....
“ Jali!!! Apalagi yang kamu lakukan?” suara Ibu guru.
Hahhaha kasian kamu Jali, uang tidak berhasil kamu rebut, malah omelan yang kau dapat. Untunglah, tadi dekat dengan sekolah, kalau tidak aku rugi banyak hari ini. Tak lama, bel berbunyi.
“ Kriing, kriiiiing !!!!” Ibu guru masuk ke kelas.
“ Assalamualaikum, ayo berdo’a....” kami menjawab salam, lantas segera membaca do’a.
“ Kali ini, ibu ingin kalian menulis kata-kata indah, yang membuat kalian semangat” perintah Ibu guru.
“ Asyiiik, siap bu.” Semangatku membara, menulis adalah hobiku. Meski kalimatnya masih berantakan, tak ada salahnya terus mencoba.
“ Sambil kalian menulis, ibu akan memberikan nasehat juga ya” tambah Ibu guru
“ Siap, bu” celetuk Ali, sahabatku. “eh,Sah! Buatin aku ya, aku malas tau! Aku mau dengerin Bu guru aja, aku nggak mau nulis kata-kata kayak gitu.”
“ Ih kamu ah! Malas mulu, kapan suksesnya?” jawabku bercanda
“ kamu aja dulu, aku ngikut. Hehehehe ...” jawabnya dengan wajah yang paling ceria sedunia
“ Nak...., kalian sudah kelas 6. Sudah waktunya kalian membantu orang tua.jangan mengandalkan orangtua terus- menerus ya...” Ibu guru memulai nasehatnya
“ Maksudnya gimana sih bu?” tanya Rosi di seberang bangkuku.
“ Lihatlah, Sahlan. Tiap pagi ia menjual gethuk buatan ibunya. Itu yang ibu maksud membantu. Membantu meringankan beban orangtua ”jawab Ibu guru. Aku terkejut mendengarnya, kok aku yang dibuat contoh sih, batinku.
“ Lho, kan dia memang nggak mampu! Nggak punya bapak lagi, pantas dong dia jualan gethuk. Hahahahahhaha” suara Jali. Tawa teman sekelas menambahi, kecuali Ali dan Rosi.
“ Jali kok gitu? Harusnya kamu itu belajar dari Sahlan dong, nak...”
“ Dia kan bukan buku bu! Ahahahahha” Jali tak terima
“ Sudah minta maaf...” perintah Ibu guru.
“ Sudah, nggakpapa kok bu. Memang Jali benar...” tambahku, dengan senyuman.
Ejekan seperti itu sudah biasa bagiku, toh yang dikatakan Jali juga tak penting. Aku pun melanjutkan menulis. Ibu guru juga diam, tak berani memulai percakapan lagi dengan kami. Takut aku semakin sedih dengan keadaan yang menimpaku. 15 menit setelah itu....
“ Ayo, maju satu persatu nak..., bacakan kata-kata motivasi yang sudah kalian tulis.”
“ Ini Li, buatmu” padahal aku tak membuatkannya, hanya kertas kosong yang kuberikan.
“ Aku dulu ya, Bu!” kata Jali . Ia maju, dan membacakan kata-kata yang telah ditulisnya. Ali maju setelah itu.
“ Putihkan hatimu, seperti kertas ini” sontak kami sekelas tertawa, ada saja idenya.
Giliran Rosi, murid perempuan paling ramah membacakan miliknya.
“ Tetap bermimpi, hingga mimpi yang paling tinggi” katanya. Lalu ia kembali duduk. Kami sekelas bertepuk tangan, kagum akan kata-kata Rosi.
Sekarang giliranku,
“ Aku bukan anak istimewa, hidupku sederhana. Aku tak punya bapak seperti kalian, tapi aku tau. Apapun yang terjadi, tetaplah tersenyum. Tunjukkan pada dunia, kamu bisa” kataku.
Hening, tak ada tepuk tangan. Semua teman- teman menunduk, Ibu guru mengusap airmatanya. Adakah yang salah denganku? Beberapa detik kemudian.....
“ Apa alasan kamu tersenyum?” tanya Rosi
“ Karna aku pantas, bahagia....” jawabku
Teman-teman sekelasku maju, menyusulku di depan kelas. Bergantian memelukku, dan meminta maaf atas perlakuan mereka selama ini. Dan hari ini, aku tau makna bahagia, buah dari kesabaran, dan nikmatnya rendah diri. Persahabatan kami pun semakin erat, dan tak terpisahkan. Meski aku tak punya bapak, aku masih punya ibu, guru, dan sahabat yang paling hebat. Meski aku hidup sederhana, tapi aku sangat bahagia.
-SELESAI-
Untuk kalian, teman hidup, teman tidur, teman segala-galanya .Terimakasih-
Kalian bukan lagi teman ,tapi sahabat dan saudara

Tidak ada komentar:
Posting Komentar